Revisiting A Copy Of My Mind

Sekali lagi, spoiler untuk A Copy of my Mind.

Spoiler dimulai setelah gambar ucul Tara Basro behind the scenes film ini.

.

.

.

Screen Shot 2016-02-25 at 6.30.44 PM

Masih di sini? Berarti siap untuk spoiler, ya.

Hari ini gue nyempetin diri lagi buat nonton A Copy of my Mind untuk kedua kalinya. Ya, karena gue udah berjanji sama diri gue sendiri di post gue sebelumnya. Dan gue menulis sebuah post singkat di sini buat memenuhi janji gue sebelumnya.

Setelah gue nonton film ini untuk pertama kali, gue mau nonton lagi karena gue merasa bahwa film ini menyimpan hal-hal besar yang mungkin gue gak tau. Dan setelah gue nonton lagi, gue ngerasa bahwa film ini bukan film dengan simbolisme besar dan megah bagaikan film-film Christopher Nolan. Gue belajar untuk mengapresiasi film ini sebagai sebuah karya yang simpel dan benar-benar jujur, sebuah potret Jakarta yang dilihat dari mata orang kecil yang berjalan di bawah bayang-bayang orang-orang besar dan korup.

Hm, let’s get to the point. Ini beberapa poin-poin unsur intrinsik yang gue sadari waktu gue nonton film ini untuk kedua kalinya:

  • Jelas, gue jadi lebih ngerti sama jalan ceritanya. Waktu gue nonton untuk pertama kalinya, gue terlalu sibuk mengagumi tata kamera dan estetika dari film sehingga gue ketinggalan beberapa plot point yang penting (contoh: waktu para executioner pergi dari gudang for good, atau momen dimana Sari bangun jam 4 pagi dan melihat panci bekas rebus mie instan, dan gara-gara itu dia jadi ingat dengan Bude).
  • Joko Anwar pintar-pintarnya memberi gaussian blur pada beberapa adegan-adegan dimana Alek dan Sari bersama. Gaussian blur ini bagaikan blur dalam otak kita kalau kita lagi jatuh cinta – Jakarta yang kotor dan kumuh serasa seperti mimpi indah.
  • BUDE KNOWS. BUDE KNOWS WHAT WE ALL DON’T.
  • Dari dulu Sari ingin kerja di salon mewah milik Bandi. Tapi, impian Sari malah membuahkan masalah untuknya. Pada awalnya, Sari merasa terganggu dengan Alek. Namun, Alek menjadi solusi dari masalahnya. (Dari Alek, Sari tahu bagaimana caranya menyebarkan video Mirna.)
  • Ada banyak paralel antara film ini sama film-filmnya Wong Kar-Wai. (Atau, mungkin, gue aja yang sok nyangkut-nyangkutin.) Misalnya, adegan Alek dan Sari naik motor, yang rada ngingetin gue sama adegan terakhirnya Fallen Angels (1995). Ada juga adegan Sari sama Alek joget-joget di kamar Alek, ngingetin gue sama Tony Leung dan Leslie Cheung di Happy Together (1997).
  • Tara Basro is an extremely versatile actress. Tara bener-bener gave it all di film ini. Tara bener-bener berhak mendapatkan piala FFI buat aktris terbaik. Sumpah, Tara Basro beda banget sama aktingnya di Halfworlds. Gue yakin kalau Tara Basro diberikan peran-peran yang tepat, she’s gonna go far.
  • Sebenernya apa sih yang menyebabkan Sari memutuskan untuk menduplikasi video itu dalam judul Tranfomess 6?
    • Pada awalnya, Sari merasa apatis terhadap pemilihan presiden. Benar-benar apatis. Meskipun suara-suara orang-orang terdengar sangat keras di luar kos Sari, Sari hanya menganggapnya sebagai suara latar dari kehidupannya. Bahkan, pada saat ia menonton videonya dan sadar bahwa salah satu capres melakukan korupsi, ia hanya ingin mengembalikan video tersebut ke tangan Mirna. Masa bodoh tentang kehidupan orang-orang politik, Sari hanya ingin hidupnya tenang.
    • Keapatisan Sari pudar (atau, tampaknya pudar) ketika Alek diculik. Ia mengkhawatirkan Alek, dan ketika ia mencapai gedung gudang, Alek sudah tidak ada. Entah Sari ingin cepat-cepat balik ke status quo atau entah Sari ingin melakukan hal ini sebagai aksi balas dendam terhadap penculik Alek, Sari menduplikasi video dalam judul Tranfomess 6. Tetap, Sari menduplikasi video itu bukan untuk the greater good, namun untuk kelancaran hidupnya sendiri. Sari hanya ingin hidup, kok, tergambar jelas dalam potongan dialognya. “Kenapa facial?” “Habis, cuman itu yang ada.”
  • Benar, pesan moral dari film ini adalah politik kotor tidak hanya mempengaruhi petinggi-petinggi politik, namun juga rakyat kecil yang bahkan apatis terhadap politik. Jika petinggi-petinggi politik itu lebih bersih (atau, lebih hati-hati), mungkin mereka bisa menjaring lebih banyak pemilih. Namun, ya, gitu deh…
  • Karena Alek hilang, subtitle DVD yang dibeli Sari tidak akan salah-salah lagi. Mungkin sebelum Sari bertemu Alek, jika Sari balik ke status quo, hal itu hal yang bagus bagi Sari, namun karena Sari sudah mempunyai hubungan batin yang mendalam dengan Alek, Sari tetap akan merindukan subtitle yang salah-salah itu.
  • Gue sadar, sebuah film yang bagus gak perlu plot twist heboh-heboh yang membuat orang teriak kata kasar, dan sebagainya. Film yang menggambarkan perjalanan emosi juga film yang bagus, kok. Film gak perlu fantastis-fantastis amat. Film yang simpel bisa nempel di memori orang jika dibuat dengan hati. (ea!) Maka dari itu, bye-bye Pintu Terlarang. Pintu Terlarang punya tempat spesial di hati gue (sebagai film kampret yang bikin gue suka sama Joko Anwar dan film Indonesia secara general) tapi #1 spot di daftar film-film terbaik Joko Anwar harus gue relain ke film yang satu ini. A Copy of my Mind adalah magnum opus Joko Anwar.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: