Hari ini, di kelas analisis algoritme, gue dapet ulangan gue balik. Nilai gue 34 dari 105.
Meskipun gue nggak ngerti apa-apa dari kelas itu, tapi ekspektasi gue lebih tinggi daripada 34. Namun, setelah itu, profesor gue bilang ke kelas bahwa nilai rata-ratanya 38. Ya, nggak apa-apa, lah, tapi tetap aja. Gue gak pernah dapat nilai sejelek ini di SMA. Dan gue juga dapat nilai jelek di ulangan kelas teori ilmu komputer gue. Semuanya bertumpuk jadi satu, dan otak gue nggak tahu harus ngapain—tenang atau ribut.
Gue keluar dari kelas, pasang earphone, dan gue pencet “shuffle” di aplikasi streaming lagu gue. Lagu yang dimainin sama aplikasi gue itu lagu terbaru dari Hindia (projek solo vokalis band .Feast, Baskara Putra) yang judulnya “Evaluasi.” Setelah peer pressure dari temen-temen gue, gue akhirnya masukin lagu ini ke playlist bulanan gue, dan sejujurnya? Lagunya enak. Sinestesianya kena banget. Sampul albumnya siluet Baskara yang lagi naik sejenis transportasi publik (kayaknya kereta) dan warna dominan di sampul itu hijau dan kuning oranye, dari pancaran matahari dari jendela, yang menurut gue bener-bener ngerefleksiin lagunya—nada-nada elektronikanya memancar dan komplementer sama suaranya Baskara, kayak pancaran matahari dari jendela.
Hari itu, matahari juga lagi bersinar terang di New York. Gue turun tangga dari gedung fakultas teknik. Dalam satu sisi, gue cukup tenang dengan nilai gue di kelas algoritma itu, tapi dalam sisi lain, gue takut. Gimana jadinya kalo gue gak lulus kelas ini? Gimana jadinya kalo gue gak lulus kelas lain gue? Gimana jadinya kalo gue gak bisa lulus? Apakah gue jurusan ilmu komputer karena gue sellout? Gue buka daftar fakultas dan kelas kampus gue dan gue ngitung pake matematika gue yang bego, masih sempatkah gue ganti haluan, banting setir dari jurusan ilmu komputer gue ke jurusan yang lebih “gampang.” (Temen gue yang jurusan teater IPK nya 4.18; kenapa gue gak melepaskan janji gaji $75k habis lulus dan menuhin hari-hari gue bikin esai dekonstruksi karya Bertolt Brecht aja?) Gue gak tau. Sebenernya gue baik-baik aja, tapi ada sepuluh persen dari diri gue yang bimbang. Eh, mungkin dua puluh persen. Dua puluh lima persen. Dua puluh lima persen dari diri gue itu ngajak gue pindah jurusan meskipun gue udah mahasiswa semester enam, ngajak gue gangguin temen-temen gue meskipun gue tahu mereka lagi sibuk, ngajak gue buat ngerasa insecure sama diri gue sendiri.
Gue berhenti di jalan gue karena ada truk paket UPS yang nutupin jalan gue. Di sisi truk itu ada banner yang tulisannya “Welcome” warna biru dan putih; truknya juga lengkap dihias balon biru dan putih. Dari gedung sebelahnya, keluar anggota staf kantor penerimaan mahasiswa baru kampus gue, di tangan mereka masing-masing mereka bawa kotak karton isi kertas. Gue lihat ke dalam salah satu kotak karton itu; isinya surat-surat penerimaan mahasiswa baru masuk ke tahun ajaran 2019-2020. Habis itu, gue nyadar bahwa posisi gue ngeblokir beberapa media kampus yang lagi mengabadikan momen itu dengan kamera profesional dan kamera hape. Gue langsung minggir, dan di depan gue, salah satu dari tiga dekan S1 kampus gue lagi jalan ke arah truk UPS itu. Dia senyum ke arah gue. Gue senyum balik. Dan pada saat itu, Baskara bernyanyi ke kuping gue: “Bilas muka, gosok gigi, evaluasi / Tidur sejenak menemui esok pagi / Walau pedih ku bersamamu kali ini / Ku masih ingin melihatmu esok hari.”
Minggu lalu gue baru aja ngunjungin temen-temen gue yang lagi nunggu diterima kuliah di mana. Gue dengerin cerita-cerita mereka tentang kebimbangan mereka, ketakutan mereka, ketidaksabaran mereka. Gue langsung ingat sama mereka waktu gue ngelihat surat-surat penerimaan itu. Di truk itu, ada ribuan surat-surat penerimaan, masing-masing masuk ke dalam kotak pos ribuan anak SMA. Mereka bakal buka surat pos mereka, dan mereka akan buka suratnya. Dan mereka nggak akan percaya tentang hasilnya, seperti gue dulu waktu gue buka kotak pos dan dapat surat gue. Rasanya kerja keras gue selama SMA nggak nihil—akhirnya gue bisa masuk kuliah impian gue.
Flash forward ke semester keenam. Gue baru dapat nilai jelek di ulangan gue. Dua puluh lima persen dari diri gue sedang mencaci-maki gue—bahwa gue kurang kompeten di kampus ini, di jurusan ini, di kota New York ini. Namun, momen kecil di sore itu—melihat surat-surat penerimaan dikirim lewat pos sambil mendengarkan “Evaluasi”—ngebantu gue buat mengevaluasi dua puluh lima persen diri gue itu. Looking back from where I started, di sebuah ruangan dengan teman-teman gue, membuka surat dari Columbia yang berbunyi “Congratulations, you have been admitted to the Class of 2020.” Gue berhenti sebentar dan berbalik badan, melihat truk paket itu dari jauh. Meskipun momen itu tidak bisa menjawab semua pertanyaan gue, tapi momen itu bisa menghentikan gue dari otak riuh gue, dan mendorong gue untuk bilang ke diri gue sendiri: Biasa saja, aku tak apa.