jika saya disuruh memilih memori kesukaan saya di new york, saya harus berpikir lama dulu. namun, di antara semua memori ini, salah satunya adalah perjalanan bersama tante saya ke queens.
waktu itu, saya terbangun jam 11 pagi oleh dering telpon saya. “aku udah di bawah nih, sama tante tante yang lain. kita ke queens yuk beli makanan indonesia,” tante saya berkata lewat telepon. saya hanya sempat menggosok gigi dan ganti baju, lalu saya turun ke lobby apartemen saya. masuk ke mobil tante saya, saya disambut tiga tante-tante lain dari berbagai penjuru tri-state area: tante saya yang dari connecticut, dan teman-temannya dari connecticut dan albany, new york. waktu mobil toyota kecil itu melaju di atas jembatan queensboro diselimuti skyline kota new york, tante-tante itu beradu cerita soal kehidupan mereka (yang saya nggak ngerti seratus persen, tapi yaudah sih, saya mengikuti saja).

tujuan kita waktu itu adalah daerah elmhurst di borough queens, yang dikenal sebagai pusat diaspora indonesia di new york. menurut pew research center, sekitar 7,000 orang indonesia tinggal di new york, sebagian besar datang setelah tragedi 1965 dan kerusuhan mei 1998. elmhurst (dan queens) adalah pusat dari diaspora ini, dengan institusi-institusi seperti toko produk indonesia (indo java & ok indo food store), restoran indonesia (awang kitchen & almarhum upi jaya), bahkan masjid dan gereja indonesia (masjid al-hikmah & kki new york). biasanya, saya berkunjung ke elmhurst untuk melepaskan rasa kangen dengan makanan indonesia dan mengisi stok makanan kering di rumah — sama seperti alasan tante-tante di cerita saya.
elmhurst juga merupakan jantung dari film ali dan ratu-ratu queens, yang baru saja rilis di netflix kemarin. sebagai orang indonesia yang sudah tiga tahun hidup di new york, saya merasa terpanggil untuk menonton film ini. ketika saya menonton trailernya, saya berpikir, ah, ini mah film-film indonesia yang cuman pamer budget luar negeri. kenyataan itu memang benar — biasanya film-film indonesia yang berlokasi luar negeri hanya menunjukkan luar negeri sebagai embel-embel marketing tanpa alasan nyata untuk syuting di luar negeri. namun, ali dan ratu-ratu queens bukan salah satu dari film itu. ali dan ratu-ratu queens adalah film yang akurat dan hangat — mengingatkan saya kepada waktu jalan-jalan bersama tante-tante yang saya kenal di new york.

film ini disambut hangat di twitter, dan salah satu dari banyak komentarnya adalah film ini menunjukkan “new york yang asli”. di ali dan ratu-ratu queens, new york terasa sangat berbeda dibanding film-film indonesia lain tentang new york. di sini, tidak ada glamor dari secangkir kopi di central park, atau duduk di tangga-tangga the met. ketika ali pertama menginjakkan kaki di new york, ali turun dari kereta no. 7 di queens dan ia melihat new york yang asli — pedagang halal cart di pinggir jalan, toko-toko serba ada milik penduduk lokal, polusi dari macetnya jalanan, dan genangan air yang entah apa itu isinya. benar, new york itu jelek. tapi orang-orang di dalamnya jauh dari jelek. salah satu adegan yang paling akurat buat saya adalah ketika ali dan tante-tante mengantri untuk membeli makan malam dari pedagang halal cart. ali terlihat sedih dan seorang perempuan yang mengantri bersama mereka menanyakan kabar ali; ketika salah satu tante menjawabnya dengan menceritakan perjalanan ali yang mengecewakan, perempuan itu memberi kata-kata penyemangat kepada ali. ketika mas-mas penjual halal cart menyapa ali dengan “assalamualaikum,” ia mengingatkan ali tentang hadits “ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu.” adegan ini benar-benar menggambarkan new york yang sebenarnya: sebuah komunitas yang beragam dan merangkul satu sama lain. tak jarang saya bertemu pemilik bisnis arab di brooklyn, biasanya di toko serba ada (dan biasanya dipanggil “ocky”, turunan dari “akhi”). dan (setidaknya di queens dan brooklyn) saya selalu merasa orang-orang di sekitar saya berniat baik; tak jarang saya dibantu orang lain ketika saya kesusahan membawa banyak barang, atau ketika saya jatuh di jalan. film ini merupakan film indonesia paling realistis tentang new york. ya, mungkin ada beberapa hal yang kurang realistis, seperti bagaimana mia dan suaminya bisa menyewa townhouse di fort greene yang harganya berkisar 3-7 juta dolar. tapi, ya, setidaknya tokoh-tokoh di film ini tidak bersantai di times square seakan-akan itu biasa bagi penduduk new york.
film ini juga lumayan akurat menggambarkan diaspora indonesia di new york. dari 7,000 orang indonesia di new york, tentu profil demografisnya berbeda-beda — mulai dari pelajar permias, komunitas di elmhurst, sampai orang indonesia yang lahir di amerika. di ali dan ratu-ratu queens, kita punya tokoh ali, orang indonesia yang baru saja pindah di new york. lalu, ada ratu-ratu queens, yang menggambarkan demografis indonesia di elmhurst, yang kebanyakan imigran tidak berdokumen dan kelas pekerja. ada juga karakter mia, yang menggambarkan orang indonesia yang hidup di daerah-daerah orang bule dan sudah lumayan menjauh dengan budaya dan komunitas indonesia. saya merasa tokoh-tokoh di ali dan ratu-ratu queens sangat menggambarkan perasaan saya selama tinggal di sini. terkadang saya merasa seperti ali: terkekang dengan kehidupannya di rumah dan ingin melepaskan represi tersebut dengan pindah ke new york. saya juga sering merasa seperti ratu-ratu queens: saya secara aktif mencari chosen family di new york, dan saya akui bertahan hidup di kota ini sangat susah, sehingga kadang-kadang pada akhir bulan saya tidak bisa makan di restoran-restoran di manhattan dan harus makan chicken over rice-nya halal cart dekat rumah. semakin ke sini saya juga semakin merasa terpanggil oleh mia, yang meninggalkan hidupnya di indonesia dan elmhurst dan memulai hidup baru di fort greene, brooklyn. apakah saya sudah terlalu jauh dari budaya indonesia? apakah saya sudah tergolong “bule banget”? apakah saya sudah lupa dengan akar saya?

meskipun masih banyak yang bisa diperbaiki dari film ini (seperti subplot romansa yang kurang berguna, atau melodrama klasik film indonesia) film ini tentu saja tak sarat pesan. pesan terbesar yang saya dapat dari ali dan ratu-ratu queens adalah: jangan mengandalkan romantisme sebagai alasanmu untuk mencintai sesuatu; kamu akan menemukan alasanmu sendiri. ini hal yang disadari ali di new york. ali datang ke new york dengan banyak ekspektasi — hidup bersama ibunya, bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, dan bahkan temannya di indonesia mendukung ali untuk mencari pacar bule. sesampainya di new york, ali tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, namun mendapatkan kebahagiaan dari hal-hal yang awalnya ia remehkan. tentu saja, seperti masyarakat indonesia umumnya, ali mempunyai gambaran yang ideal terhadap kota new york. romantisme itu runtuh ketika ali sadar bahwa new york itu bukan sekedar ide, namun sebuah organisme yang bergerak dan dipenuhi orang-orang beragam yang bertahan hidup dan merangkul satu sama lain. diskursus ini kadang mucul dalam percakapan tentang “new york is dead,” apalagi selama pandemi, ketika banyak orang menyangka bahwa new york akan menjadi kota mati pasca covid — “new york is dead” hanya bisa diucapkan dari mulut seseorang yang melihat new york sebagai ide. mengutip yasmin nair dari current affairs: “what kills a city is the force of nostalgia, when a place becomes an idea instead of a vital, throbbing and almost organic creature that lives and breathes with complex and complicated ecosystems that often, yes, vanish, only to be supplanted by something else.” sama seperti film-film indonesia lain, yang memandang new york atau luar negeri sebagai ide. padahal, new york itu sama saja dengan jakarta, semarang, atau medan: new york adalah kota yang penuh dengan orang-orang yang bangun jam lima pagi untuk mencari nafkah, tetangga-tetangga yang menyapa satu sama lain, dan ibu-ibu seperti ratu-ratu queens.
ali mencari alasannya sendiri untuk mencintai kota new york seperti saya menemukan alasan saya sendiri. new york tidak mungkin dicintai hanya dengan gemerlap lampu-lampu times square dan lagu “welcome to new york” menggebu-gebu di latar belakang. untuk mencintai new york sesungguhnya, cobalah bercerita dan mendengarkan percakapan ibu-ibu elmhurst sambil menyeruput secangkir teh.
One response to “ali dan ratu ratu queens: hidup dan mati di new york city”
Kapan ya saya bisa ke New York?