Pernah nggak, ngerasa nggak punya pilihan?
Mungkin gue dan lo pernah ngalamin gimana rasanya itu—ketemu sama orang yang bener-bener sefrekuensi sama lo. Entah lo nemuin koneksi kembali sama orang yang udah di hidup lo (tapi, ya, lo nggak pernah perhatiin aja), atau ketemunya bisa aja se-random mungkin, contohnya lagi nunggu MRT di Stasiun Blok A habis yoga di Dharmawangsa. Lalu, lo ngobrol sama orang itu, dan lo menemukan koneksi instan sama orang itu. Mungkin lo tahu apa spesifiknya koneksi itu—misalnya, lo berdua dulu sama-sama suka sok-sokan nongkrong di ak.sa.ra Kemang waktu masih bocah SMP, mencoba blend in sama anak-anak kuliahan yang suka pake kaos band macam Ra Ra Riot atau The Strokes—atau mungkin lo nggak bisa ngedeskripsiin koneksi itu. Koneksinya ada aja, gitu. Lalu lo pada mulai lebih sering ketemuan, dan sekalinya lo ketemuan, lo bisa ngobrol 4-5 jam sama orang itu. Lo bawa dia ke tempat yang dia suka tapi nggak pernah dia kunjungin, dan lo bisa lihat mata dia bersinar waktu lo ajak dia ke tempat itu. Atau mungkin kebalikannya—dia ngajak lo ke tempat yang lo pengen banget kunjungin dari dulu, dan lo berpikir, “Gue ngapain ya, sehingga gue bisa punya orang ini di hidup gue.” Lo terus berpikir itu, karena lo nggak pernah se-klop ini sama orang-orang yang lo temuin di hidup lo. Mau dia itu jadi pacar, temen, atau mungkin anggota keluarga—terlampau dari label-label hubungan konvensional, lo punya sebuah koneksi yang nggak bisa dideskripsiin pake label.
Terus, hubungan itu tiba-tiba hilang. Mungkin hubungan itu bisa hilang secara drastis—satu hari lo masih ngobrol asik sama orang itu, hari berikutnya orang itu udah nggak ada di hidup lo. Mungkin hubungan itu bisa hilang secara perlahan—karena kesibukan masing-masing, perbedaan geografis, kendala teknologi, lama-lama orang itu jarang lagi ketemuan/ngobrol sama lo, dan lo berpikir, “Worth it nggak sih gue pertahanin hubungan gue sama orang ini, kalau gue tahu orang ini lama-lama nggak akan di hidup gue lagi?” Kadang-kadang lo liat balik ke masa-masa di mana lo pada berada di dekat masing-masing, ngomongin hal-hal yang lo nggak bisa ngomongin ke orang lain, dan lo melihat ke hidup lo sekarang dimana orang itu udah nggak ada di hidup lo. Kadang-kadang lo akan melewati tempat-tempat dimana memori lo sama dia paling kentara—waktu dia meluk lo di 14th Street Station New York City, atau waktu dia megang tangan lo sambil nyari transistor di Lindeteves Glodok—dan waktu lo lewatin tempat-tempat itu sendiri, lo nggak bisa lewat tanpa mikirin dia. Semesta itu anjing, ya?
Isyana Sarasvati bilang, di rilisan terbarunya yang berjudul “ragu Semesta,” semesta itu memang anjing. Tapi ya, kita nggak bisa berpaling dari semesta, karena “ragu semesta tak terlamun oleh manusia.” Meskipun begitu, Isyana nggak pernah ngatain semesta, karena, ya, semua ada alasannya. Ya, paling nggak, menurut gue itu apa yang Isyana pikirin waktu nulis lagu ini. “ragu Semesta” yang instrumentalnya bagus banget—gabungan antara alunan nada piano dan biola yang syahdu banget, rasanya kayak pendengar dibawa masuk ke musikal Broadway atau filem Disney Princess—bikin gue mikir bahwa Isyana nggak mungkin mencemooh semesta. Bahkan ketika Isyana harus merelakan harapannya sama manusia spesial sefrekuensi itu—”Haruskah ku memulai tuk melepaskan / Harapanku bersamamu / Biarlah menjauh”—Isyana masih nyisain harapan. Di “ragu Semesta,” Isyana percaya bahwa meskipun semesta kadang-kadang anjing, semesta juga punya kuasa besar untuk menyatukan kembali. Makanya, Isyana masih punya harapan; katanya, “Mungkin kita kan bertemu, lain waktu, di alam yang baru.”
Gue baru aja baca karya-karyanya Rene Descartes di kelas gue, seorang filsuf yang mungkin bakal setuju sama Isyana. Di Meditations on First Philosophy, Descartes memulai argumennya dengan ketidakpastian; Descartes ragu-ragu, dan Descartes sadar bahwa kita semua, sebagai manusia, pernah ragu-ragu. Tapi keraguannya besar banget—sampai ia berpikir, mungkin nggak ya ada setan yang ngusilin gue dan ngedistorsi semua yang ditangkap lima indra gue? Tapi, ujung-ujungnya, Descartes narik kesimpulan bahwa itu salah. Penjelasannya kayak gini: dia nggak ragu-ragu kepada fakta bahwa dia ragu-ragu, berarti dia seorang manusia yang berpikir; karena dia berpikir, dia itu nyata; karena dia nyata tapi dia masih ragu-ragu, berarti dia nggak sempurna, berarti ada orang di luar sana yang sempurna dan nyata, itu yang dia sebut Tuhan; karena Tuhan itu sempurna berarti dia nggak bakal nipu orang; berarti Descartes nggak bakal tertipu, berarti kita semua punya persepsi yang jelas dan benar. (Itu usaha gue buat ngerangkum jalan pikiran Descartes; selengkapnya bisa dilihat di sini.) Intinya, dari penjelasan gue yang belibet itu, Descartes percaya bahwa keraguannya bisa ditangkal oleh kepercayaan bahwa Tuhan (atau semesta, dalam konteks Isyana) selalu punya persepsi yang jelas untuk manusia, dan walaupun ada keraguan, pasti selalu ada harapan.
Ya, hal yang gue pelajarin dari Isyana dan Descartes, mungkin kita nggak akan pernah ketemu lagi sama orang itu. Orang yang bagaikan revelasi buat kita, orang yang satu frekuensi sama kita. Yang rasanya lo punya harapan baru buat dunia ini, yang tiba-tiba diambil dari lo. Semesta itu kadang-kadang anjing. Tapi kita selalu akan punya harapan—harapan bahwa meskipun semesta punya ragu, semesta tetep bisa ngejagain orang itu buat kita. Bahwa mungkin suatu hari kita bisa bertemu kembali, lain waktu, di alam yang baru.